Bab 9
Renungan yang patut diambil perhatian
FIRMAN ALLAH SWT:
Terjemahannya: Hampir-hampir langit itu pecah dari sebelah atasnya (kerana kebesaran Tuhan) dan malaikat-malaikat bertasbih memuji Tuhannya dan memohon ampun bagi orang yang ada di bumi. Ingatlah bahwa sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Asy Syura: 5)
Langit berserta isinya sungguh takut pada Allah karena kebesaran-Nya, sebab itu langit seperti menangis. Dan malaikat-malaikat tidak berhenti-henti menghambakan diri untuk memuji Allah dan mendoakan keselamatan manusia di bumi.
Sedangkan makhluk-makhluk bumi hanya sebahagian kecil saja yang menyedari kebesaran kerajaan langit lalu turut mengabdikan diri sebagai penyerahan total pada Allah SWT. Mereka itu sangat membesarkan Allah dalam setiap tindakan mereka. Imam Bukhari misalnya telah mengungkapkan rasa kehambaannya pada Allah SWT dalam sajaknya. Rintihannya lebih kurang begini:
Di kala malam yang sunyi sepi
sedang bani insan tenggelam dalam tidur dan mimpi,
musafir yang malang ini tersentak bangun
pergi membasuh diri
untuk datang mengadap-Mu Tuhan.
Lemah lutut berdiri di hadapanMu
sedu-sedan tangisku keharuan
hamba yang lemah serta hina ini
Engkau terima juga mendekat
bersimpuh di bawah Duli Kebesaran.
Tuhan,
hamba tidak tahu pasti
bagaimana penerimaanMu
di kala mendengar pengaduan hamba
yang penuh dosa dan noda ini.
Dalam wahyu yang Engkau nuzulkan
Engkau berjanji untuk sedia menerima pengaduan
dan sudi memberi keampunan.
Dan Muhammad RasulMu yang mulia itu
pernah mengatakan:
"Ampunan Tuhan lebih besar dari kesalahan insan".
Hamba percaya pada tutur kepastian itu
Sebab itu hamba datang wahai Tuhan
bukan tidak redha dengan ujian
cuma hendak mengadu padaMu
tempat hamba kembali nanti
memohon sakinah, maghfirah dan muthmainnah.
Demikianlah bila hati sudah kembali kepada fitrahnya, maka manusia menjadi makhluk yang paling sempurna (insaanul kamil). Tetapi alangkah ruginya kerana tidak semua manusia memilih jalan itu.
Di akhir zaman ini rasa kehambaan dalam hati hamba-hamba Allah sudah sangat kurang. Hati mereka jadi keras seperti batu.
Allah menggambarkan hal itu dengan firman-Nya:
Terjemahannya: Kemudian setelah itu hati kamu menjadi keras seperti batu atau lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu ada yang terpancar mata air lalu mengalir dan sesungguhnya sebagian dari batu itu ada yang retak dan pecah lalu keluar air dari dalamnya. Dan ada pula batu yang jatuh meluncur karena takut kepada Allah. Dan tidaklah Allah lalai terhadap apa yang kamu kerjakan.
(Al Baqarah: 74)
Mereka bukan lagi memuja Allah tetapi memuja diri (nafsu) sendiri. Allah SWT tidak dibesarkan dengan selayaknya. Dan syariat Tuhan lahir maupun batin dijadikan bahan gurauan dan mainan mereka semata-mata.
Tetapi selamat dan bahagiakah hidup mereka?
Damaikah negara mereka?
Amankah masyarakat mereka?
Tenangkah rumah tangga mereka?
Lapangkah dada mereka?
Puaskah nafsu mereka?
Dan di manakah syurga dunia yang mereka impi-impikan?
Hidup di tengah-tengah gelombang nafsu ego dan rakus, hasad dengki, gila dunia, dendam, bakhil, riya', ujub dan 1001 macam lagi kejahatan lahir dan batin. Manusia bukan saja tidak dapat memberi ketenangan pada masyarakat sekitarnya bahkan diri dan keluarga sendiri pun gagal mereka letakkan dalam keadaan tenang. Kuman-kuman hasad dengki, takabur, gila dunia, bakhil, riya' dan lain-lain itu penuh mengerumuni hati mereka. Hal tersebut makin memusnahkan kemurnian rasa kemanusiaan dan pasti tidak akan membiarkan hati manusia itu dalam keadaan tenang dan tentram. Kejahatan-kejahatan itu akan senantiasa menggigit hati nurani manusia hingga hati itu selalu sakit.
Renungan yang patut diambil perhatian
FIRMAN ALLAH SWT:
Terjemahannya: Hampir-hampir langit itu pecah dari sebelah atasnya (kerana kebesaran Tuhan) dan malaikat-malaikat bertasbih memuji Tuhannya dan memohon ampun bagi orang yang ada di bumi. Ingatlah bahwa sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Asy Syura: 5)
Langit berserta isinya sungguh takut pada Allah karena kebesaran-Nya, sebab itu langit seperti menangis. Dan malaikat-malaikat tidak berhenti-henti menghambakan diri untuk memuji Allah dan mendoakan keselamatan manusia di bumi.
Sedangkan makhluk-makhluk bumi hanya sebahagian kecil saja yang menyedari kebesaran kerajaan langit lalu turut mengabdikan diri sebagai penyerahan total pada Allah SWT. Mereka itu sangat membesarkan Allah dalam setiap tindakan mereka. Imam Bukhari misalnya telah mengungkapkan rasa kehambaannya pada Allah SWT dalam sajaknya. Rintihannya lebih kurang begini:
Di kala malam yang sunyi sepi
sedang bani insan tenggelam dalam tidur dan mimpi,
musafir yang malang ini tersentak bangun
pergi membasuh diri
untuk datang mengadap-Mu Tuhan.
Lemah lutut berdiri di hadapanMu
sedu-sedan tangisku keharuan
hamba yang lemah serta hina ini
Engkau terima juga mendekat
bersimpuh di bawah Duli Kebesaran.
Tuhan,
hamba tidak tahu pasti
bagaimana penerimaanMu
di kala mendengar pengaduan hamba
yang penuh dosa dan noda ini.
Dalam wahyu yang Engkau nuzulkan
Engkau berjanji untuk sedia menerima pengaduan
dan sudi memberi keampunan.
Dan Muhammad RasulMu yang mulia itu
pernah mengatakan:
"Ampunan Tuhan lebih besar dari kesalahan insan".
Hamba percaya pada tutur kepastian itu
Sebab itu hamba datang wahai Tuhan
bukan tidak redha dengan ujian
cuma hendak mengadu padaMu
tempat hamba kembali nanti
memohon sakinah, maghfirah dan muthmainnah.
Demikianlah bila hati sudah kembali kepada fitrahnya, maka manusia menjadi makhluk yang paling sempurna (insaanul kamil). Tetapi alangkah ruginya kerana tidak semua manusia memilih jalan itu.
Di akhir zaman ini rasa kehambaan dalam hati hamba-hamba Allah sudah sangat kurang. Hati mereka jadi keras seperti batu.
Allah menggambarkan hal itu dengan firman-Nya:
Terjemahannya: Kemudian setelah itu hati kamu menjadi keras seperti batu atau lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu ada yang terpancar mata air lalu mengalir dan sesungguhnya sebagian dari batu itu ada yang retak dan pecah lalu keluar air dari dalamnya. Dan ada pula batu yang jatuh meluncur karena takut kepada Allah. Dan tidaklah Allah lalai terhadap apa yang kamu kerjakan.
(Al Baqarah: 74)
Mereka bukan lagi memuja Allah tetapi memuja diri (nafsu) sendiri. Allah SWT tidak dibesarkan dengan selayaknya. Dan syariat Tuhan lahir maupun batin dijadikan bahan gurauan dan mainan mereka semata-mata.
Tetapi selamat dan bahagiakah hidup mereka?
Damaikah negara mereka?
Amankah masyarakat mereka?
Tenangkah rumah tangga mereka?
Lapangkah dada mereka?
Puaskah nafsu mereka?
Dan di manakah syurga dunia yang mereka impi-impikan?
Hidup di tengah-tengah gelombang nafsu ego dan rakus, hasad dengki, gila dunia, dendam, bakhil, riya', ujub dan 1001 macam lagi kejahatan lahir dan batin. Manusia bukan saja tidak dapat memberi ketenangan pada masyarakat sekitarnya bahkan diri dan keluarga sendiri pun gagal mereka letakkan dalam keadaan tenang. Kuman-kuman hasad dengki, takabur, gila dunia, bakhil, riya' dan lain-lain itu penuh mengerumuni hati mereka. Hal tersebut makin memusnahkan kemurnian rasa kemanusiaan dan pasti tidak akan membiarkan hati manusia itu dalam keadaan tenang dan tentram. Kejahatan-kejahatan itu akan senantiasa menggigit hati nurani manusia hingga hati itu selalu sakit.
Sudah kaya tidak puas apalagi kalau miskin. Sudah mempunyai pengikut tidak puas apalagi kalau sendirian. Sudah sehat tidak puas apalagi kalau sakit. Sudah disanjung tidak puas apalagi kalau dihina.
Di dalam kubur nanti kuman-kuman itu akan menjelma menjadi ular dan kalajengking yang menggigit dan mengunyah sekujur tubuh manusia. Sampai di Akhirat mereka akan menyerupai api yang akan membakar dan melumatkan lahir dan batin manusia.
Ketenangan hati hanya akan diperoleh dengan mengakui kehambaan, kekurangan dan kelemahan ke hadirat Allah yang Maha Tinggi. Mengaku berdosa lahir dan batin, takut dengan kebesaran, kekuasaan dan hukum-hukum Allah, mengharapkan kebahagiaan Akhirat dengan melupakan penderitaan di dunia, berkasih sayang sesama manusia, zuhud terhadap dunia, ikhlas beramal semata-mata karena Allah dan lain-lain rasa hati yang telah saya uraikan sebelum ini.
Ketenangan hati hanya akan diperoleh dengan mengakui kehambaan, kekurangan dan kelemahan ke hadirat Allah yang Maha Tinggi. Mengaku berdosa lahir dan batin, takut dengan kebesaran, kekuasaan dan hukum-hukum Allah, mengharapkan kebahagiaan Akhirat dengan melupakan penderitaan di dunia, berkasih sayang sesama manusia, zuhud terhadap dunia, ikhlas beramal semata-mata karena Allah dan lain-lain rasa hati yang telah saya uraikan sebelum ini.
Kebahagiaan di dunia ini adalah ketenangan hati. Dan hati yang tenang adalah hati yang selamat dari kejahatan-kejahatan. Bila hati selamat, barulah manusia akan dipanggil Allah untuk menikmati kebagiaan abadi dalam Syurga Jannatun Naim.
Firman Allah SWT:
Terjemahannya: Pada hari manusia meninggalkan dunia ini tidak berguna harta dan anak-anak, kecuali mereka yang datang menghadap Allah membawa hati yang selamat.
(Asy Syuara: 88-89)
Mudah-mudahan Allah mengurniakan kita taufik dan hidayah untuk memperoleh hati yang selamat sebagaimana yang Dia maksudkan. Amin.
Renungan yang patut diambil perhatian
BERDASARKAN huraian yang telah dipaparkan, betapa susah mengenal hati dan diri sendiri.Walaupun kita kenal, betapa susah untuk mengubatinya sampai hati dapat kita letakkan sesuai dengan fungsinya. Nafsu dan syaitan menghalang dengan keindahan dunia dan nikmatnya yang senantiasa mempesona.
Kalau hati dan diri sendiri susah untuk kita kenal, terlebih lagi untuk mengubatinya. Tentu lebih susah lagi untuk mengenal orang lain dan untuk mengubati hatinya.
Kejayaan orang-orang dahulu iaitu para salafussoleh, dalam mengubati penyakit masyarakat adalah kerana mereka berjaya mengubati penyakit diri sendiri.
Di situlah kelebihan dan keutamaan mereka dari diri kita. Tidak seperti kita di zaman ini (termasuk penulis sendiri) baik ulama-ulama, mubaligh-mubaligh, penulis-penulis Islam, para pemimpin masyarakat Islam belum kenal diri sendiri dan belum dapat mengubati penyakit diri sendiri.
Kerana itulah penyakit-penyakit masyarakat susah untuk diubati bahkan seringkali penyakit masyarakat itu bertambah kronis disebabkan penyakit-penyakit diri kita sendiri.
Marilah kita sama-sama berdoa semoga Allah senantiasa memimpin kita agar kita kenal diri dan penyakit hati kita sendiri hingga kita mampu untuk mengubatinya.
Semoga hal itu menjadi modal untuk dapat mengubati penyakit masyarakat yang telah kronik. Akhirnya setiap hati akan menjadi bersih dan masyarakat pulih kembali untuk mengulang sejarah salafussoleh.
Demikianlah saya tutup buku ini dengan memohon ampun kepada Tuhan Yang Ghafur Lagi Rahman. Semoga saya menulis buku ini bukan atas dasar nafsu atau kemasyhuran.
Kalau Allah menganggap itu sebagai amal soleh, maka pahalanya saya hadiahkan kepada roh ibu bapa, guru-guru yang telah mendidik saya dan mereka yang telah berjasa pada saya serta mereka yang pernah mencerca di belakang saya.
Wahai Tuhan, terimalah buku ini
dari hambaMu yang dhaif ini.
Amin ya Rabbal ‘Alamin.
__._,_.___
No comments:
Post a Comment